Mengutip data survei tenaga kerja nasional tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), dari 21,2 juta masyarakat Indonesia yang masuk dalam angkatan kerja, sebanyak 4,1 juta orang atau sekitar 22,2 persen adalah pengangguran.
Dengan banyaknya pengeguran secara otomatis tingkat kemiskinan akan naik sehinga perlu adanya solusi. Banyak solusi yang di tawarkan oleh pemerintah saat ini, tapi selalu mentok, program yang di jalankan masih berbasis pemberdayaan tradisional. Yakni memberikan bantuan langsung tunai, hal tersebut bisa mengakibatkan fatal, menjadikan masyarakat peminta-minta, walaupun akhirnya program itu saat ini sudah di cabut, di gantikan dengan program lainya, semoga saja program tersebut bisa menjadi solusi, sekalipun sekilas ada beberapa daerah yang menjadikan progam pemerintah hanya sebatas pembuatan air pam. tidak sedikit pula dari progra-program pengucuran bantuan hanya di rasakan pihak-pihak tertentu saja.
Dengan banyaknya pengeguran secara otomatis tingkat kemiskinan akan naik sehinga perlu adanya solusi. Banyak solusi yang di tawarkan oleh pemerintah saat ini, tapi selalu mentok, program yang di jalankan masih berbasis pemberdayaan tradisional. Yakni memberikan bantuan langsung tunai, hal tersebut bisa mengakibatkan fatal, menjadikan masyarakat peminta-minta, walaupun akhirnya program itu saat ini sudah di cabut, di gantikan dengan program lainya, semoga saja program tersebut bisa menjadi solusi, sekalipun sekilas ada beberapa daerah yang menjadikan progam pemerintah hanya sebatas pembuatan air pam. tidak sedikit pula dari progra-program pengucuran bantuan hanya di rasakan pihak-pihak tertentu saja.
Selain program pemerintah banyak pula masyarakat pada berlomba-lomba berniat membantu orang lain, aplikasi dari niatnya tersebut sangat mudah di tebak, salah satunya adalah memberi bantuan berkisar pemberian dana, atau bantuan barang yang bisa di lihat nyata. Alih-alih menyelamatkan perekonomian mereka tapi yang terjadi adalah habis dan terus habis, kurang dan terus kurang. Begitu seterusnya. Timbul pertanyaan sudah prosuktivekah bantuan kita?
Pada suatu hari pada tahun 2008 yang lalu kami melaksanakan progaram kampoeng mandiri di sungai itik, di sana kami melakukan maping sosial atau sering di sebut analisa sosial. Dari hasil survey lapangan saya melihat ada potensi perikanan di sana, khususnya budidaya ikan lele. Dan pada waktu itu pula saya melihat petani lele, dan menanyakan langsung ke mereka, berapa harga ikan lele per Kg?. Dari hasil wawancara mereka menyebutkan ikan lelenya di hargai oleh tengkulak Rp 11.000, setelah mengetahui kejadian di lapangan saya mencoba melakukan survey pasar. Dan ternyata ikan lele di Konsumen (pecel lele). Harganya jauh melambung Rp. 19.000,-/Kg bahkan ada yang sampai Rp20,000,- itu artinya selisih harga oleh tengkulak berkisar Rp. 8000,- sampai Rp9000, angka yang fantastis. Keuntungan tengkulak dari hasil penjualan yang kerjanya hanya memindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain sedemikian besar, di banding petani ikan, yang tugasnya membeli bibit, memelihara, memberi pakan, dan seterusnya, belum lagi terpotong biaya produksi yang tidak sedikit.
Dari studi kasus di atas jika ingin membatu petani lele, bukan sekedar memberikan uang tambahan modal supaya petani tersebut memproduksi besar-besaran, bisa jadi biaya produksinya tinggi dengan keuntungan minim, Tapi ada persoalan berbeda di sini yakni akses pasar yang harus di selesaikan terlebih dahulu. Bayangkan jika petani lele yang sebelumnya per Kg-nya di hargai Rp.11,000,- kita membantu mencarikan skses pasar. Dan akhirnya ikan lelenya di hargai 18.000,- atau Rp 19.000,- saja. itu artinya setiap kali petani panen, kita telah membantu, per Kg Rp7000,- Rp.8000,-, Lebih bermanfaat bukan? Keutungan bisa jangka panjang. Ingat tugas kita hanya menemukan pasarnya, selanjutnya kita serahkan ke petani.
loading...
0 comments:
Terimakasi atas kunjunganya, Silahkan tinggalkan pesan..
Komentar Anda sangat berarti bagi kami