Menggeluti tanaman sejak kuliah menjadi jalan bagi Ilmi Noor Rahmad (30) dalam memasuki bisnis herbal. Ilmi yang menyukai tanaman obat semasa kuliah di Jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada awalnya bekerja sebagai salah satu karyawan perusahaan obat. Ia juga pernah menjadi redaktur majalah tanaman obat. Berbekal ilmu di perkuliahan dan di pekerjaan, keinginan Ilmi kian menggebu memiliki usaha sendiri.
Awal 2007, bersama keluarganya ia memutuskan Mandiri dan berusaha sendiri dalam usaha herbal. Dengan modal awal Rp 5 juta, serta koneksi dengan beberapa petani bahan baku tanaman herbal, ayah satu anak ini kemudian membuka usaha konsultasi herbal di kediamannya, di Bekasi.
"Pertama kali, kami hanya membuat sesuai pesanan dan jenisnya juga masih terbatas," kata pria menamai usahanya Herbaling Ciptawung Indonesia (HCI). Jenis herbal yang ia hasilkan pada awal pendirian usaha diantaranya sambiloto, mahkota dewa, kumis kucing, kunyit, kencur, dan temulawak.
Sembari terus belajar meramu ragam obat-obatan herbal pada kelompok tanaman obat, dalam dua tahun usahanya sudah mampu menghasilkan herbal sekitar 120 tanaman. Omzet yang ia peroleh kini berkisar Rp 6,5 juta per bulan. Setelah dipotong berbagai biaya, setiap bulan ia bisa mengantongi Rp 3,5 juta per bulan. Padahal, krisis global sedang melanda yang menyebabkan daya beli menurun.
Selain melayani pesanan, Ilmi kini mulai memasarkan produknya ke beberapa minimarket dan dua supermarket Bekasi. Ilmi pun memproduksi berbagai varian produk manisan herbal sebagai terobosan. Hasilnya cukup menjanjikan. Usahanya tumbuh 30 persen.
"Kami baru memulai beberapa bulan ini, ternyata banyak disukai,"katanya. Variasi produk diantaranya manisan jahe, kencur, dan jahe merah instan yang dicampur krimer.
Besarnya peluang mengembangkan usaha, memberikan keyakinan tersendiri bagi Ilmi karena punya potensi besar. Walaupun sempat mengirimkan bahan obat temulawak ke Korea, pengusaha yang bertempat tinggal di Jatisampurna, Bekasi, itu memfokuskan usahanya ke lokal. "Selain bisnis inti di herbal, kami berkonsentrasi pada produk olahan herbal. Pasar lokal besar sekali," katanya.
Peningkatan usaha bukan berarti tanpa kendala. Penyediaan bahan baku yang tidak menentu, naiknya harga bahan baku, serta kendala perizinan menjadi masalah tersendiri bagi Ilmi. Panjangnya birokrasi saat mengurus izin, seringkali menjadi kesulitan agar produknya memiliki standar yang diterima minimarket. Bahan baku yang terus naik membebani produksi yang masih relatif kecil.
Harga gula yang tadinya Rp 6.500 per kilogram kini menjadi Rp 7.500 serta temulawak naik menjadi Rp 12.000 per Kg menimbulkan biaya cukup besar produksi sekitar 2.000 butir herbal dan 900 kemasan ukuran 90 gram. "Walaupun masih bisa terjangkau, pasokan yang tetap akan sangat membantu kami."
Untuk mengembangkan usahanya, Ilmi menjadi salah satu mitra binaan perusahaan Badan Usaha Milik Negara dan memperoleh bantuan modal. Dari modal tambahan itu, ia memperbaiki kemasan produknya agar lebih maksimal dan diterima toko-toko. Pemasaran lain yang sedang ia rintis saat ini adalah menjalin kerja sama dengan salon dan spa serta penjualan di kantor-kantor pemerintahan. (VIVAnews)
mantabsss
BalasHapus